
Banyak orang salah menilai akan lemak, karena dalam berbagai publikasi sering disebutkan sebagai zat gizi yang tidak baik. Sedemikian ‘berbahaya’nya, sampai-sampai orang sering mengonsumsi makanan yang di labelnya tertulis tanpa lemak atau rendah lemak. Misalnya ketika membeli susu.
Sah-sah saja mengurangi lemak dalam asupan nutrisi orang dewasa. Namun, menurut Dr. William Sears, seorang dokter yang banyak menangani tumbuh kembang balita, keranjingan akan makanan yang serba rendah lemak dan rendah kolesterol ini sebaiknya tidak terbawa-bawa ketika bunda menyiapkan makanan untuk bayi.
Bayi memerlukan lemak, bahkan dalam jumlah yang banyak. Kalori dalam ASI, 40-50 persennya merupakan lemak dan juga kaya kolesterol. Makanan seimbang bagi bayi harus mengandung kalori yag 40 persennya berbentuk lemak, dan 30-40 persen bagi anak usia 1-2 tahun.
Mengapa? Di bawah ini beberapa alasannya:
- Lemak diperlukan sebagai penyimpanan terbesar sumber energi tubuh. Ada 6 kalori dalam 1 gram lemak, dua kali lebih banyak dari yang ada dalam karbohidrat dan protein.Otak yang sedang tumbuh juga memerlukan lemak yang tepat dan benar.
- Otak tumbuh lebih cepat selama tahun pertama kehidupan dibanding periode lainnya. Otak menggunakan 60 persen dari total energi yang dikonsumsi bayi, dan 60 persen dari otak adalah lemak. Lemak pun menyediakan komponen-komponen utama bagi membran sel dalam otak dan sarung atau kantung myelin, yang menyekat saraf-saraf dalam otak dan ruas tulang belakang sehingga rangsangan saraf berjalan lebih efisien ke seluruh tubuh bayi yang tengah tumbuh
- Lemak adalah komponen dasar dalam hormon-hormon yang penting dan bagian yang berharga dalam membran sel, terutama sel-sel darah merah.
- Lemak bersifat seperti kapal feri dalam menyerap dan mengantarkan atau mengalirkan vitamin A, D, E, dan K.
- Lemak membuat makanan menjadi terasa enak. Bayi menyukai lemak dalam makanan yang terasa di mulut.
- Lemak adalah makanan kaya gizi, terkemas dalam hampir semua kalori dalam jumlah paling kecil. Gizi ini begitu penting bagi bayi usia 1-2 tahun karena mereka biasanya merupakan pemilih makanan dan mengonsumsi sedikit makanan pada setiap waktu makan.
- Karena ASI mengandung banyak lemak, dan bisa dibilang merupakan lemak terbaik yang diperoleh bayi. (untuk melihat secara detail manfaat ASI, klik rubrik Tentang ASI).
Selain ASI sebagai sumber lemak terbaik, ikan laut dan sayuran juga merupakan sumber lemak yang baik. Bila diurutkan berdasarkan kandungan gizinya, lemak-lemak itu adalah:
- makanan laut (khususnya ikan salmon)
- minyak rami
- avokad
- minyak sayur
- mentega kacang (mentega ini hanya diberikan setelah bayi berusia 2 tahun)
Tiga sumber lemak teratas (ASI, makanan laut, dan minyak rami) adalah sumber-sumber yang kaya akan asam lemak omega-3, yang sangat penting bagi pertumbuhan otak yang optimal.

Ketika menyusui, pengaturan menu makan seorang ibu sangat penting, sama pentingnya dengan perawatan bayi. Selain gizi seimbang plus air putih, menu makan ibu menyusui sebaiknya juga memerhatikan beberapa zat makanan yang disinyalir dapat mengganggu produksi maupun kualitas ASI. Makanan-makanan pengganggu ini dapat masuk ke ASI dan mengganggu bayi, dua jam setelah Anda mengonsumsinya. Demikian yang ditegaskan Dr. William Sears dalam The Baby Book.
Tanda-tanda bahwa makanan tersebut adalah pengganggu ASI dapat dilihat pada bayi. Misalnya, bayi menjadi rewel, sakit perut, tingkah laku gelisah, atau apa yang disebut sebagai kolik 24 jam – yaitu rasa sakit yang terjadi, maksimum 24 jam, setelah ibu mengonsumsi makanan yang dicurigai, tapi hal itu tidak terjadi lagi sampai ibu megonsumsi lagi makanan yang sama. Beberapa makanan yang dicurigai dapat mengganggu ASI adalah:
1. Produk olahan-berbahan-susu. Kandungan protein alergenik pada produk-produk olahan-berbahan-susu dapat masuk ke ASI dan menghasilkan gejala-gejala sakit perut pada bayi. Makanan itu antara lain adalah susu, yoghurt, dan keju.
2. Makanan yang mengandung kafein. Minuman ringan, cokelat, kopi, teh, dan minuman pengurang rasa dingin, semuanya mengandung kafein. Meskipun sebagian bayi lebih peka terhadap kafein dibanding bayi lainnya, biasanya ibu harus mengonsumsi produk ini dalam jumlah besar terlebih dulu untuk dapat memberi efek mengganggu pada bayinya.
3. Biji-bijian dan kacang-kacangan. Yang paling alergenik dari jenis ini adalah gandum, jagung, dan kacang tanah.
4. Makanan pedas. Air susu ibu akan terasa berbeda setelah Anda mengonsumsi makanan pedas dan mengandung bawang putih. Salad, pizza, dan minuman keras juga dapat menimbulkan protes dari lambung bayi, sehingga ia menolak minum ASI atau menjadi sakit perut.
5. Makanan yang mengandung gas. Brokoli, bawang putih, tauge, cabai hijau, kembang kol, kubis, dapat mengganggu bayi, tetapi tidak terlalu mengganggu bila sudah dimasak. Memang cukup sulit untuk menjelaskan secara ilmiah bagaimana makanan tersebut dapat mengganggu bayi, namun pengalaman para ibu menyusui menyebutkan bahwa makanan yang banyak mengandung gas membuat bayi banyak mengeluarkan gas pula.
Selain jenis makanan yang mengganggu ASI, ibu menyusui sebaiknya juga memerhatikan aturan lain dalam menyantap makanan. Aturan itu adalah jangan berlebihan dalam mengonsumsi suatu makanan. Ada bayi yang bisa terganggu setelah ibunya makan makanan tersebut dalam jumlah yang banyak, misalnya bila ibu terlalu banyak makan makanan olahan dari gandum dan makanan-makanan masam. Namun, dalam jumlah kecil makanan ini masih bisa ditoleransi pencernaan bayi.

By Susan Palmquist
Maybe it’s an allergy to peanuts, wheat or even lactose intolerance — a food allergy in itself can be frustrating, but sometimes the biggest hurdle to overcome is serving meals that the whole family can enjoy. With some creativity and a game plan, you can make dishes sure to please everyone.
I recently spoke with Jodi Bager and Jenny Lass and asked them to share their tips on meal preparation for people with allergies. The two women are authors of The Grain-free Gourmet that contains recipes that are not only grain-free, but also refined sugar-free and low in lactose. Bager and Lass both have first-hand experience living with restrictive diets. Lass has celiac disease, while Bager has ulcerative colitis. They both follow the Specific Carbohydrate Diet and decided to team up to write a cookbook several years after they met at a potluck dinner.
Don’t make anyone feel left out
Bager says the most important thing is to never make the person, especially a child, feel like they’re different because of their allergy. “Try and feed everyone the same food,” she explains. “Don’t make it a sacrifice for the person — but at the same time, don’t deprive other family members. Make sure everyone’s getting what they want.”
Lass adds that you should select cooking methods that are easy on the cook such as a one-pot stew that freezes and reheats well that everyone likes. And while you should give everyone some choices, Bager and Lass suggest you don’t offer too many options, because you’ll never get everyone to decide on one dish.
Don’t totally discard perennial family favorites like tacos and lasagna just because someone has a food allergy. “In our cookbook, you’ll find a lasagna made with zucchini instead of pasta, and there’s also a recipe for tacos using a slice of provolone cheese instead of a taco shell,” says Bager.
Another problem that often crops up is when a child with a food allergy goes to eat at someone else’s house. “I think most parents want to be accommodating, so it’s simple enough to explain what they can and cannot eat,” Bager notes. “Another idea is to have the other child over to your house for a meal before the visit. Serve them something like the tacos, and it’s almost guaranteed that he’ll go home and ask his parents to make the same meal when your child comes to eat at his house.”
Eating out
Eating out is another challenge for people with food sensitivities. Both Lass and Bager suggest you stick with pure, whole foods. Try ethnic restaurants — places like Greek eateries, where you can order fish with just lemon and pepper as seasonings and perhaps a side of veggies.
Bager says most problems arise when people eat processed foods, so fast foods restaurants aren’t your best bet. “Don’t be afraid to ask your server what’s in the food, because you’ll be surprised what can show up,” she warns. One example she gives is breakfast fare. Many people order omelets, but sometimes they’re not made from real eggs and have milk added to them. Bager suggests going with eggs cooked over-easy or sunny-side up.
And don’t be shy about carrying things like your own salad dressing when you dine out.
Making connections
If you’re looking for other families coping with food allergies or need more resources, Lass suggests doing an internet search to find an association that deals with your particular allergy. Another idea is to talk to your family doctor, who can probably put you in touch with a local support group.
Read more about Bager and Lass and find sample recipes at Grain-Free Gourmet.
© Susan Palmquist
Susan Palmquist is a freelance writer who specializes in food, health and wellness topics. She writes a monthly column and two weekly columns, the latest called The Budget Smart Girl’s Guide to the Universe.

By Tom Ogren
As one who makes his living by writing about allergies and asthma, I am often asked about the potential health benefits of using local honey. Here I am talking about alleviating allergy symptoms, not “curing” allergies, which is far easier said than done.
Honey contains bits and pieces of pollen and honey. As an immune system booster, it is quite powerful. In talks and articles and in my books, I advocate using local honey. Frequently I’ll get e-mails from readers who want to know exactly what I mean by local honey, and how “local” should it be. This is what I usually advise.
The local honey advantage
Allergies arise from continuous overexposure to the same allergens. If, for example, you live in an area where there is a great deal of red clover growing and if in addition you often feed red clover hay to your own horses or cattle, then it likely you are exposed over and over to pollen from this same red clover. Now, red clover pollen is not especially allergenic but still, with time, a serious allergy to it can easily arise.
Another example: if you lived in a southern area where bottlebrush trees were frequently used in the landscapes or perhaps you had a bottlebrush tree growing in your own yard, your odds of overexposure to this tree’s tiny, triangular and very allergenic pollen are greatly enhanced.
In the two examples used above, both species of plants are what we call amphipilous, meaning they are pollinated by both insects and the wind. Honeybees collect pollen from each of these species, and it will be present in small amounts in honey that was gathered by bees that were working areas where these species are growing. When people living in these same areas eat honey that was produced in that environment, the honey will often act as an immune booster. The good effects of this local honey are best when the honey is taken a little bit (a couple of teaspoonsful) a day for several months prior to the pollen season.
==================================
Search for books and products on this subject on Powells or Amazon.
==================================
When I’m asked how local should the honey be for allergy prevention, I always advise to get honey that was raised closest to where you live — the closer the better, since it will have more of exactly what you’ll need.
A little bit at a time
It may seem odd that straight exposure to pollen often triggers allergies but that exposure to pollen in the honey usually has the opposite effect. But this is typically what we see. In honey, the allergens are delivered in small, manageable doses, and the effect over time is very much like that from undergoing a whole series of allergy immunology injections. The major difference, though, is that the honey is a lot easier to take, and it is certainly a lot less expensive. I am always surprised that this powerful health benefit of local honey is not more widely understood, as it is simple, easy and often surprisingly effective.
Pharmaceutical companies have huge budgets and can fund studies, but with honey, this scientific research doesn’t seem to get funded; thus, most evidence we have is what we see, anecdotal evidence. That, however, can be and often is important; sometimes or actually often, such evidence proves very useful.
Success story
Let me give you one such anecdotal example of the powers of local honey. I was asked to look over the yard of a family that had just moved to this area (central coastal California) to see if I could figure out what was triggering the allergies of their five-year-old son. The boy was experiencing classical allergic responses: runny nose, itchy eyes, persistent cough. This family had only recently moved to California from the Midwest, so a pollen allergy was surprising, as they generally take a number of years of exposure to develop.
The boy had started having these symptoms a few months after moving here. At his house, I didn’t find the usual allergy culprits of the landscape, male-cloned trees or shrubs, but I did note that next to the house was a row of towering blue gum eucalyptus trees. I knew the eucalyptus trees were shedding plenty of pollen, as you could see it on the windows of the cars parked underneath them. I checked some of this pollen with a microscope and it was indeed from these blue gum trees. Eucalyptus pollen is fairly large in size and triangular in shape, making it easy to identify. I suggested that at the local farmers market they could buy some eucalyptus honey and recommended that the boy be given several spoonfuls of this every day.
The family did as I advised and the boy ate the strongly flavored eucalyptus honey every day for four months. By the end of the first month the allergic symptoms were starting to ease up. By the end of the second month all his symptoms had disappeared. Some 10 years passed, and while in high school, this same boy again started having allergic symptoms. I visited the high school at the request of his folks and found that they had a multitude of huge eucalyptus trees growing there. I again advised the local honey and once again, it seemed to do the trick.
Now, let me be clear here: I am not suggesting that local honey will replace allergists. But what I am saying is that since visits to allergists are expensive and series of immunology shots, although generally very effective, are costly, it makes perfect sense to give the local honey a try first. Many times, as many others and I have seen firsthand, local honey will take care of the problem quickly, safely and inexpensively.
Note: To reduce the risk of botulism, honey should not be given to children under 12 months old.
© Thomas Leo Ogren
Thomas Leo Ogren is the author of five published books, including Allergy-Free Gardening and Safe Sex in the Garden. Tom consults on allergies and landscaping for, among others, the USDA urban foresters, the American Lung Association, county asthma coalitions, landscape, nursery and arborists’ associations, and for Allegra. Tom’s own web site is Allergy-Free Gardening.
By Natural Family Online
According to the American Academy of Pediatrics, American women are not breastfeeding their babies long enough and are supplementing with unnecessary liquids. The AAP recommends breastfeeding your baby for no less than six months, and abstaining from supplements for the same amount of time.
Many women stop nursing within the first few months or even weeks after their baby is born. Likewise, they’re supplementing with juices, water, and formula without reason.

Kehadiran seorang bayi tentu membawa kehangatan dan kebahagiaan di rumah Anda. Seiring dengan itu, tanggung jawab dan kerepotan setiap pasangan, terutama bunda, semakin bertambah. Dari mulai menyusui, memandikan, menidurkan, memberi prasarana dan sarana bagi kenyamanan dan keamanan bayi, sampai juga mempersiapkan masa depannya.
Beberapa waktu lalu, bayi mulai diberi makanan padat ketika berusia 4 bulan. Namun, merujuk kepada standar WHO (World Health Organization), disarankan agar bayi baru mulai diberi makanan padat setelah usianya menginjak 6 bulan. Mengapa?
Ada beberapa alasan mengapa pemberian makanan padat ditunda. Menurut Dr. William Sears dalam bukunya The Baby Book, di bulan-bulan awal, bayi memiliki refleks ‘penolakan lidah’ yang menyebabkan lidah secara otomatis menjulur ke luar saat ada sesuatu ditaruh di atasnya.
Hal ini merupakan refleks proteksi terhadap kemungkinan tersedak makanan padat yang diberikan terlalu awal. Antara usia 4-6 bulan, refleks ini menurun. Juga, sebelum bayi berusia 6 bulan, sebagian bayi belum memiliki koordinasi gerakan lidah dan menelan yang baik untuk makanan padat.
Bukan saja bagian atas pencernaan bayi tidak dirancang untuk makanan padat yang diberikan terlalu awal, tapi begitu pula halnya dengan usus bayi. Ususnya belum matang, tidak dilengkapi kemampuan untuk menangani berbagai macam makanan sampai ia mencapai usia 6 bulan, saat enzim pencernaan mulai bekerja.
Teristimewa bila bayi menderita alergi. Riset membuktikan bahwa pemberian makanan padat yang dimulai sebelum bayi berusia 6 bulan akan meningkatkan risiko alergi. Usus yang telah matang akan mengeluarkan immunoglobulin protein IgA, yang melapisi usus dan mencegah lewatnya protein allergen yang berbahaya (susu sapi, gandum, dan kacang kedelai adalah contoh umum dari makanan yang menyebabkan alergi bila diberikan terlalu dini).
Bayi dikatakan siap makan bila ia mulai meraih makanan di dekat piring Anda atau siapa pun yang berada di dekatnya. Mungkin saja ia akan berusaha merebut sendok makan, memandang bundanya dengan mimik lapar, dan membuka mulutnya lebar-lebar saat orang lain sedang menyuap.
Untuk makanan padat yang pertama, sangat disarankan agar Anda menyeleksi dengan ketat makanan yang akan diberikan. Mulailah dengan makanan padat yang paling tidak menimbulkan alergi, dan yang cita rasanya mirip dengan ASI. Contoh-contoh makanan padat pertama yang paling disukai adalah pisang matang yang dilumatkan, atau seral yang dicampur dengan ASI atau susu formula.
Makanan yang paling mungkin menimbulkan alergi adalah:
1. kelapa 9. tomat
2. selai kacang 10. kacang-kacangan
3. buncis 11. kulit ikan
4. gandum 12. daging babi
5. produk-olahan-berbahan-susu 13. kedelai
6. gula 14. jagung
7. cokelat 15. putih telur
8. buah-buahan asam
Sedangkan makanan yang paling tidak mungkin menimbulkan alergi adalah:
1. apel 11. pepaya
2. mangga 12. kismis
3. avokad 13. daging ayam
4. brokoli 14. ikan salmon
5. kurma 15. madu
6. labu 16. kentang manis
7. daging kambing 17. gandum
8. daging lembu muda 18. beras
9. selada 19. wortel
10. asparagus 20. anggur

Kehadiran seorang bayi tentu membawa kehangatan dan kebahagiaan di rumah Anda. Seiring dengan itu, tanggung jawab dan kerepotan setiap pasangan, terutama bunda, semakin bertambah. Dari mulai menyusui, memandikan, menidurkan, memberi prasarana dan sarana bagi kenyamanan dan keamanan bayi, sampai juga mempersiapkan masa depannya.
Di samping perawatan bayi, yang juga sangat penting adalah merawat kesehatan bunda. Sebab, kesehatan bayi sedikit banyak juga tergantung pada kondisi ibunya. Demikian pula dengan asupan makanannya, terutama bagi ibu yang menyusui. ASI yang diberikan ibu memang berkualitas dan sangat berguna bagi kesehatan dan tumbuh kembang bayi, namun mutunya tetap harus dijaga.
Santapan yang sebaiknya dikonsumsi para bunda yang sedang menyusui harus mengandung makanan bergizi, namun dalam jumlah yang lebih banyak. Menurut Dr. William Sears dalam bukunya The Baby Book, bila Anda menyantap makanan yang baik untuk Anda, Anda akan memiliki lebih banyak energi dan merasa lebih baik, seperti pada masa nifas dan saat stres karena menjadi ibu baru.
Untuk gizi seimbang, Dr. Sears menyarankan kelima kelompok makanan dasar ini:
1. kelompok nasi, serealia, roti gandum, atau pasta
2.kelompok sayuran
3. kelompok buah-buahan
4. kelompok ikan, daging, unggas, kacang kering, telur, dan kacang
5. kelompok susu, yoghurt, dan keju.
Selain itu, konsumsilah makanan dari masing-masing kelompok tersebut sambil memerhatikan tiga kelompok dasar kalori:
1. Karbohidrat, harus terdapat dalam 50-55 persen dari total kalori harian, dan porsi utama dari sumber energi ini harus dalam bentuk gula sehat, terutama biji-bijian, nasi atau pasta, dan buah.
2.Lemak yang menyehatkan, yang harus terdapat dalam 30 persen dari total kalori harian.
3. Protein, harus terdapat dalam 15-20 persen dari total kalori harian.
Yang juga perlu ditambahkan ke dalam menu makanan ibu menyusui adalah:
1. Kalsium. Anda memerlukan banyak kalsium selama kehamilan dan masa menyusui. Penelitian menunjukkan bahwa kalsium yang diambil dari tulang ibu selama masa menyusui akan kembali selama dan setelah masa penyapihan, dengan kepadatan tulang yang lebih baik dibandingkan sebelum masa kehamilan.
Bila Anda tidak suka minum susu, atau alergi ketika meminumnya, gantikan dengan makanan nonsusu kaya kalsium seperti ikan sarden, kacang kedelai, brokoli, buncis, ikan salmon, tahu, daun-daunan hijau, kangkung, manisan anggur, dan jus wortel. Tambahkan juga keju dan yoghurt bila Anda tidak alergi.
2. Zat besi. Asupan makanan yang mengandung zat besi dalam jumlah cukup sangat penting bagi ibu yang baru saja melahirkan. Beberapa makanan kaya zat besi adalah ikan, unggas, dan jus buah prune. Untuk memperbaiki penyerapan zat besi dari makanan, minum atau santaplah makanan yang kaya akan vitamin C bersamaan dengan beberapa kombinasi makanan seperti daging bakso dan saus tomat, sereal kaya zat besi, dan jus jeruk.
3. Suplemen bila perlu. Anda tetap dapat mengonsumsi suplemen makanan dan vitamin selama hamil, kecuali bila dokter Anda menyarankan suplemen yang lain.
4. Air putih. Air putih adalah minuman terbaik bagi ibu menyusui. Minumlah segelas air putih (boleh juga diganti dengan jus buah sesekali), sesaat sebelum Anda menyusui. Minumlah kapan saja Anda merasa haus, minimal delapan gelas sehari. Jangan tunda minum sampai Anda selesai menyusui bayi, sebab bisa membuat Anda kekurangan

Namun, tentu saja orangtua juga tak bisa menyerahkan kesulitan makan ini pada faktor biologis anak. Apalagi, tingkah laku anak akan bertambah buruk bila anak semakin lama tidak makan. Karena itu, tetap ada hal-hal yang bisa dilakukan bunda, yaitu:
1. Membentuk makanan menjadi saus atau krim.
Anak-anak suka mencelupkan jari ke makanan, karena itu bentuklah makanan menjadi seperti krim atau saus yang beraroma. Misalnya, dengan melumatkan avokad, menghaluskan buah-buahan atau sayuran yang dimasak dengan bumbu sedikit saus salad, melumatkan kacang panjang atau buncis tanpa serat, melumatkan tahu, atau membuat krim keju halus.
2. Membuat selai.
Olesan pada makanan juga disukai balita, yang umumnya berwujud selai. Buatlah selai dari avokad, keju, saus daging, mentega kacang, atau selai buah-buahan. Oleskan pada biskuit, kue-kue kering, dan roti.
3. Menghias makanan.
Bentuk yang menarik juga disukai balita. Selain itu, Anda juga bisa mengakali makanan yang tidak disukai balita menjadi dimakan dengan cara meletakkannya di bawah makanan yang mereka sukai. Jadi, bila ia tidak suka sayuran, letakkan sayuran di bawah topping yang menarik, seperti keju, saus tomat, saus daging, mentega kacang, dan sebagainya, dan bentuklah dengan bentuk binatang, bulat,atau hati, sesuai selera.
4. Buatlah finger food.
Piring yang penuh bisa jadi membuat anak kurang berselera makan. Karena itu, bagi Anda yang kreatif, sajikan makanan dalam porsi kecil-kecil, dan tambahlah lagi bila masih ada. Selain itu, membentuk makanan dalam wujud yang mudah disantap, seperti finger food, lebih akan menerbitkan selera mereka. Makanan seperti nugget bisa Anda buat sendiri, dan bisa terdiri dari campuran tepung, sayuran, dan daging yang menyehatkan sekaligus mengenyangkan.
5. Gunakan kursi khusus dan sabuk pengaman.
Supaya anak duduk diam ketika makan, sediakan selalu kursi makan khusus untuk balita, bisa di kursi tinggi, atau di kursi yang memiliki sabuk pengaman supaya ia tidak jatuh karena banyak bergerak.
6. Sering mengubah menu.
Dalam hal ini, Anda dituntut untuk bersikap fleksibel ketika mempersiapkan menu dan menyajikan makanan. Bila teknik penyajian tidak berhasil, ubahlah menunya. Cobalah berbagai teknik yang berbeda dan jenis makanan yang lebih variatif.

Menyuapi balita tak semudah membayangkan ia tumbuh dan berkembang dengan cepat. Kadang-kadang, ada kalanya menyuapi mereka membuat kaum ibu kesal, sedih, dan bahkan ingin menangis karena si anak enggan membuka mulut atau menelan.
Seorang ibu bahkan pernah harus membelikan bayinya yang berusia 18 bulan dengan makanan buatan impor yang harganya hampir 20 ribu rupiah setiap satu kali waktu makan karena anaknya menolak makanan lain. Daripada tidak ada makanan yang masuk, kebiasaan mahal dan merepotkan itu dijalaninya juga.
Namun, tentu saja ibu muda itu lega ketika akhirnya sang buah hati mau juga menelan makanan buatan sendiri yang lebih bersahabat dengan kondisi ekonomi.
Memang, menurut Dr. William Sears dalam bukunya, The Baby Book, kebiasaan makan yang tidak menentu adalah ciri khas perkembangan normal anak-anak balita yang dipengaruhi suasana hatinya.
Anak balita bisa saja makan dengan baik hari ini, tapi besok ia bisa menolak makanan yang sama. Bila ini berlangsung sesekali, sebenarnya orangtua tak perlu risau, karena umumnya anak balita akan menyeimbangkan kebutuhannya akan makanan, dan ia akan minta makan bila sudah merasa lapar, dan berhenti bila ia sudah kenyang.
Apalagi, seorang bayi yang belum berusia setahun, perutnya hanya sebesar kepalan tangannya. Maka, makanan sebanyak itu pula yang dibutuhkannya setiap hari, tak lebih dari itu.

Teknik memberi makan bayi adalah keahlian yang selayaknya dipelajari oleh ibu-ibu muda, terutama mereka yang baru saja punya bayi. Pasalnya, pemberian makan awal itu juga bisa berpengaruh terhadap kebiasaan anak berikutnya.
Contoh, bila bayi dibesarkan dengan kebiasaan makan di depan televisi, lebih besar kemungkinannya ia juga akan melakukan hal itu ketika sudah lebih besar. Namun jika ia biasa duduk dengan tertib di kursi makannya, peluang ia duduk dengan tertib di meja makan juga lebih besar. Selain itu, bagaimana kebiasaan orangtua dalam pola makan juga akan berpengaruh terhadap kebiasaan si kecil kelak.
Jadi, bagaimana sebaiknya menyuapi bayi dengan benar supaya ia nanti memiliki kebiasaan-kebiasaan yang baik sehubungan dengan kebiasaan makan? Anda bisa menerapkan teknik di bawah ini:
Duduk di depan si kecil ketika menyuapi
Dianjurkan agar Anda memandang mata bayi Anda, ajak bicara, dan pastikan bahwa si kecil sudah siap diberi makan
Konsentrasi pada makanan
Supaya kebiasaan baik yang diadopsi oleh si kecil, sebagai orangtua kita juga harus berusaha membiasakan diri melakukan hal-hal yang baik ketika makan. Misalnya, dengan mengajak bayi berkonsentrasi pada piring atau mangkuk makannya. Jangan biarkan ia makan sambil menonton TV, atau membiarkan ia bermain dengan mainan di hadapannya ketika makan. Dengan berfokus pada makanannya, si kecil akan berkonsentrasi untuk belajar mengunyah dan menelan dengan baik, sebaik Anda menyuapinya.
Sedikit-sedikit, lama-lama habis
Karena baru mulai belajar makan, biarkan bayi mencoba sedikit demi sedikit dari ujung sendok, supaya ia bisa merasakan rasa makanan di lidahnya dan membiasakan diri dengan rasa itu. Selain itu, dengan mulai sedikit, ia semakin lama akan semakin terampil dalam menelan.
Letakkan makanan langsung di mulut
Apabila bayi sudah mulai merasakan makanan, taruh sedikit makanan di ujung sendok, lalu masukkan makanan itu sampai menyentuh bagian tengah langit-langit mulutnya. Setelah itu, bayi akan menutup mulutnya dan menelan.
Beri minum air putih
Kadang-kadang kita lupa bahwa bayi pun perlu minum selain ASI. Jadi, ketika makan, sediakan secangkir kecil air putih. Beri minum bayi dengan disendoki.
Tidak habis bukan masalah
Pada awal-awal bayi belajar menerima makanan padat, bukan masalah besar bila makanan yang Anda sediakan tidak dihabiskan. Selama ia masih giat menyusu, sebenarnya bayi tidak perlu makan dalam jumlah banyak. Sebab, perutnya pun masih kecil dan belum dapat menampung makanan yang banyak. Para ahli mengira-ngira bahwa anak satu tahun hanya memerlukan satu sendok makan penuh untuk satu kali makan. Namun, semakin ia besar, maka porsinya pun akan semakin bertambah.

Kegiatan makan, bagi sebagian bunda, kadang-kadang menuntut banyak pengorbanan. Boleh jadi ada teriakan dan jeritan yang terlontar, diselingi air mata yang tumpah, karena anak tak mau makan. Tidak heran kalau saat makan menjadi kegiatan yang meletihkan dan menguras energi.
Memang, seorang ibu diharapkan untuk senantiasa sabar, terutama karena kegiatan makan bukan hanya membuat anak tercukup kebutuhan gizinya, namun kegiatan tersebut juga dapat dijadikan pengalaman belajar bagi anak balita. Pada saat anak mulai bicara, kegiatan makan dapat dijadikan sarana bagi ibu untuk mengajarkan konsep rasa, ekspresi rasa, konsep warna, konsep tekstur, konsep jumlah, dan konsep ukuran. Kesabaran ibu melakukan kegiatan ini dapat mempermudah proses makan serta memperkaya wawasan pengetahuan balita. Inilah konsep yang diadopsi sebagai pengembangan dari konsep yang diperkenalkan oleh Feurstine dan Pnina Klein pada tahun 1983 dan disebut sebagai konsep Mediated Learning Experiences (MLE).
Kedua ahli perkembangan anak itu menegaskan bahwa terjadinya proses belajar diperlukan mediator atau perantara antara anak dengan lingkungannya. Dalam hal kegiatan makan, ibu atau pengasuh bertindak sebagai mediator untuk memperkenalkan berbagai konsep dan fakta yang ditemui anak di dalam lingkungan kehidupannya. MLE ini juga dapat diterapkan ketika kegiatan makan berlangsung. Contohnya adalah ketika memberi makan, ibu dapat memberi informasi mengenai apa yang dimakan, bagaimana rasanya, apa warnanya, berapa jumlahnya, dan sebagainya.
Teknik memberi makan dengan konsep MLE dapat dilakukan dalam 5 tahap, yaitu:
1. Membangkitkan perhatian dan keinginan anak untuk bereaksi Ibu mengajak anak makan dan memberi tanda bahwa waktu makan telah tiba. Untuk menarik perhatian anak, ibu menggunakan ekspresi verbal dan nonverbal, untuk mengaktifkan penginderaan anak. Misalnya, sambil mengatakan, “Yuk, makan … Bau sosisnya sedap banget, yaaa …” (supaya anak mencium bau makanan). Ibu lalu mengambil piring dan membiarkan anak memegang peralatan makan, makanannya, dan menirukan apa yang dikatakan ibu. Ibu juga menyebutkan nama makanan yang diberikan, rasanya, bentuknya, teksturnya, dan perkuat dengan ekspresi suara atau mimik. Ulangi hal ini beberapa kali.
2. Memberikan makna yang sifatnya afektif terhadap pengalaman
Menyebutkan nama makanan berikut atribut yang menyertainya. Misalnya, “Sayang makan nasi, ya. Enak nih nasinya anget. Mau pake sosis? Kayak bunga, ya, sosisnya? Warna apa sosisnya. O iya, merah … “
3. Menggiring anak berpikir ke masa depan dengan melihat kaitannya dengan masa kini dan masa lalu atau melihat hubungan sebab akibat
Untuk membuat anak mampu melihat kaitan dari apa yang dilakukan saat ini dengan kondisi yang akan terjadi di masa datang adalah membiasakan si kecil melihat hubungan sebab akibat. Misalnya, “Sayang, mamamnya pake sayur, ya. Ini ada bayamnya. Biar sehat, biar nanti nggak gampang sakit kalau senang makan sayur.”
4. Memberikan pujian dan membangkitkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak
Kalau anak makan dengan benar, ibu juga tidak pelit dengan pujian. Misalnya, bila ia telah menghabiskan satu sendok makanan, langsung saja ibu memuji tentang kepandaiannya itu. Apalagi bila makanan bisa dihabiskan dengan rapi, tanpa ada remah-remah. “Pinter banget deh sayangnya Mama, makannya habis, mejanya bersih. Nggak ada yang tumpah karena makannya hati-hati …”
5. Membiasakan anak merencanakan semua kegiatan yang hendak diambil, memperlihatkan bahwa semua tindakan mempunyai pola
Dalam mempersiapkan kegiatan makan, anak hendaknya juga dilibatkan, misalnya ketika mencuci tangan, menyiapkan makanan, sambil bercerita tentang apa yang sedang dilakukan ibu, sampai membereskan meja setelah kegiatan makan usai. Hal ini dilakukan berkali-kali, supaya membentuk kebiasaan dan pola makan yang sehat.
Agar proses pembelajaran menjadi lebih mudah dan situasi menyenangkan, ibu sebaiknya juga mengadakan kontak mata dengan balita. Selain itu, bunda disarankan untuk memiliki rasa empati, mau memberikan kesempatan pada buah hati untuk berbicara, mencoba berbagi perasaan yang menyenangkan, serta mengikuti apa yang menjadi inisitif maupun respons anak. Interaksi ibu atau anak yang intensif saat pemberian makan ini bisa dijadikan sarana untk meningkatkan kemampuan kognitif anak.
Bagaimana halnya bila ibu tidak sempat menyuapi sendiri si anak? Sebenarnya, pengasuh pun dapat berperan menjadi mediator. Tentu, sudah menjadi tugas ibu untuk mendelegasikan peran ini agar pengasuh dapat bertindak sebagai mediator yang baik agar anak memahami kehidupannya, mengajarkan untuk bersikap empati dan giat mengajak anak mengobrol, dan bersikap selayaknya orang dewasa yang mengajari anak dengan sabar.
Pada bayi, penyakit alergi yang paling mendapat perhatian serius selain alergi susu sapi adalah dermatitis atopik atau kemerahan (rash) pada kulit karena faktor makanan atau suhu. Penyakit dermatitis atopik ini sangat umum terjadi pada bayi.
Tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh Saarinen pada tahun 1979 membuktikan bahwa pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan pertama kehidupan si bayi, dapat menurunkan insiden dermatitis atopik bahkan sampai si kecil berusia 3 tahun.
Lebih jauh penelitian ini menunjukan bayi yang mendapat ASI ekslusif, kemungkinan menderita reccurent (pengulangan serangan alergi) lebih rendah dibanding bayi yang tidak mendapat ASI

Walaupun kemungkinan balita keracunan di rumah tetap ada, ketika ia sedang giat-giatnya melakukan kegiatan makan atau menjelajahi segenap penjuru rumah (dan kemudian memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya yang menimbulkan efek keracunan), bukan berarti keracunan tak dapat dicegah.
Ada beberapa hal sebagai orangtua yang dapat dilakukan, yaitu:
* Membiasakan anak memerhatikan kebersihan tangan, sebab keracunan makanan sangat menular. Ia juga harus selalu mencuci bersih tangannya sehabis buang air besar.
* Jagalah kebersihan di dalam rumah sehingga tidak ada sisa-sisa makanan yang terjangkau si kecil dan dapat dikonsumsinya ketika sudah tidak layak makan.
* Simpanlah bahan-bahan pembersih rumah yang mungkin jadi sumber racun di tempat tertutup yang tidak mungkin terjangkau oleh si kecil.
* Biasakan menyimpan makanan matang ke dalam kulkas. Kalaupun mau dihangatkan, pastikan panasnya merata. Karena, Salmonella (yang sering jadi ‘sebab’ keracunan makanan) biasanya ‘senang’ dan tumbuh subur di makanan yang hangat. Tapi, bakteri ini akan mati pada temperatur yang tinggi.
* Masaklah makanan sampai benar-benar matang. Artinya, matangnya harus merata ke dalam bahan makanan.
* Belilah daging dan makanan hasil laut di tempat yang dapat dipertanggungjawabkan kebersihannya.
* Jangan biarkan si kecil makan daging mentah. Daging yang sama sekali tidak diolah merupakan sasaran empuk bakteri penyebab keracunan makanan.
*Jangan berikan madu pada bayi di bawah usia 1 tahun. Dikhawatirkan, madu mengandung bakteri Clostridium botullinum yang dapat menyebabkan si kecil keracunan.
* Ketika membeli makanan dalam kemasan, perhatikan kaleng atau tutupnya. Apakah masih mulus ataukah sudah terbuka? Apakah kalengnya agak menggelembung atau tidak? Jangan sekali-kali memilih makanan yang kemasannya cacat atau kalengnya menggelembung. Bisa jadi, makanan tersebut sudah terkontaminasi bakteri.
* Cerdaslah ketika membaca label makanan dalam kaleng, supaya ketahuan masa kedaluwarsa dan isinya aman dimakan. Telah ada peraturan bahwa label makanan di Indonesia juga dilengkapi dengan bahasa Indonesia meskipun merupakan bahan makanan impor. Karena itu, kalau tidak ada bahasa Indonesianya, sebaiknya tak perlu Anda beli. Label yang baik biasanya memuat nama merek, nama/alamat produsen, nomor pendaftaran, tanggal kedaluwarsa, berat/volume produk, komposisi produk. Selain itu, juga memuat informasi nilai gizi, total lemak, senyawa atau elemen lain, serta daily value (prosentase penyumbang gizi dalam kebutuhan nutrisi sehari-hari). (Hannie).
Di dalam ASI terdapat komponen oligosakarida yang merupakan komponen terbesar ketiga setelah laktosa dan lemak. Oligosakarida ini memiliki peran vital dalam menciptakan sistem pencernaan yang sehat dan mendorong terjadinya dominasi bakteri yang baik disaluran cerna.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Clemens di Bangladesh pada tahun 1992, yang dipublikasikan di Journal of Pediatrics membuktikan bahwa bayi yang mendapat ASI eksklusif mengalami penurunan risiko shigellosis (infeksi bakteri saluran cerna yang menyebabkan diare kronis) hingga 52% dibanding bayi yang tidak mendapatkan ASI atau bayi yang mengkonsumsi susu formula.
Penelitian Clemens ini dilakukan pada kelompok anak anak yang rentan infeksi saluran pencernaan. Penelitian ini memperkuat fakta bahwa ASI merupakan perlindungan utama bagi bayi terhadap penyakit infeksi, terutama infeksi saluran cerna.